Bismillahirrahmanirrahim, ..
Secara global, mental Indonesia sangat susah untuk jadi pemimpin dan jadi dipimpin, karena tidak memiliki mental di kedua sisi itu. Nah, Syi’ah Indonesia juga demikian sebagai bangsa Indonesia. Penyakitnya macam-macam, ada yang tidak punya ilmu, atau punya sedikit banget ... dan seterusnya, tetapi ngotot ingin jadi pemimpin, sampai-sampai W.F. (Wali Faqih) yang agung dikecilkan menjadi W.F. - kecil-kecilan. Yang lebih rumit lagi adalah yang mau dipimpin. Yang mau memimpin saja tidak ada dan tidak memiliki kelayakan apapun, yang mau dipimpin juga tidak memiliki mental kerakyatan. Karena hanya mau taat pada yang ia suka dan itupun hanya pada yang seide. Jadi di samping orangnya harus segolongan, perintahnya juga harus dalam hal-hal yang seide.
Nah, dalam keadaan demikian, maka persis dengan orang yang ingin menata peradaban tinggi tetapi tidak dengan adab-adab peradaban. Atau sama dengan perlunya mursyid, sementara tidak ada yang jangankan jadi mursyid jadi murid mursyid saja tidak ada yang layak, tetapi berlagak paling arif dan mursyid. Yang mau jadi murid juga sama sekali tidak punya potensi itu, tetapi sama sekali tidak menyadarinya dan bahkan merasa paling layak untuk menjadi murid atau bahkan sudah merasa naik ke tingkat setengah mursyid hingga kesana kemari berlagak seperti orang fanaa’ dan mengajarkan kearifan atau keirfanan. Akhirnya masyarakat beradab yang diinginkan secara perasaan tapi tidak diinginkan secara filosofis itu (karena tidak mau berkorban mencari ilmu dan taqwa dan tidak berkorban untuk bersatu dengan selain golongan) hanyalah berupa PERADABAN MIMPI.
Jadi, kuncinya, bukan di INGINNYA KITA DAN BETAPA BAGUSNYA YANG DEMIKIAN ITU, YANG BERADAB ITU, YANG RAPI DAN TERATUR ITU .... DAN SETERUSNYA, karena INGIN yang seperti itu hanyalah khayalan dan insting natural yang ada pada setiap insan dan binatang (karena binatangpun tidak ingin diburu yang lebih kuat), artinya bukan menunjukkan manusianya manusia. Tetapi kuncinya adalah di KEINGINAN YANG FAKTAIS dan FILOSOFIS, yakni yang teraktual sesuai dengan prosesnya yang benar, BUKAN TIDAK BERPROSES TAPI MAU MEMBENTUK, yakni bukan yang tidak mau berproses jadi pemimpin tetapi mau jadi pemimpin, begitu pula yang mau dipimpin, artinya bukan yang tidak mau berproses jadi rakyat, tetapi ingin jadi rakyat yang dipimpin. Karena itulah maka kalau wf saja ada mininya alias tidak memenuhi syarat, maka rakyatnya juga akan ada mininya. Yakni wf mini memimpin rakyat yang juga mini.
Jadi, kalau memang mau, maka berproseslah dengan benar, ada yang berusaha jadi pemimpin yang baik, yang mengasah ilmu yang tinggi dan mengasah otaknya=akalnya supaya tajam sesuai dengan jamannya, memperluas hatinya, menuluskan niatnya, memprofesionalkan semua pikiran dan langkahlangkahnya, meninggalkan kesukaannya pada dunia sekalipun halal .... dan seterusnya sebagaimana yang harus dimiliki seorang pemimpin.
Dan rakyatnya juga begitu, harus lapang dada hingga punya mental untuk taat. Karena kalau tidak, dia akan menjadi pemimpin bagi pemimpinnya, tidak tunduk pada kebenaran dan kesucian, tidak melepaskan kepentingan golongan .... dan seterusnya., tidak sebagaimana layaknya sifat yang harus dimiliki orang rakyat beradab dan berbudaya.
Nah, kalau itu diproses, maka kita tidak akan selamanya mengigit jari kita. Tetapi kalau tidak, dan hanya menyeminarkan inginnya, menyeyasankan dan mengorganisasikan keinginannya, maka selamanya kita akan menjadi penggigit jari kita sendiri yang sampai ke tingkat maniak. Atau menjadi Yazid dengan yang ber-KTP- bermadzhab Syi’ah.
Sinar Agama